Biografi Singkat Anre Gurutta Huzaifah
Anre Gurutta Huzaifah
Anre Gurutta[note]Anre Gurutta atau Anregurutta disingkat AG, adalah sebuah istilah gelar bagi Ulama Sulawesi Selatan. Istilah ini tidak dipakai secara umum kepada seseorang yang dianggap sebagai ulama tetapi hanya dipakai kepada Ulama/ustadz dalam lingkup pesantren itupun hanya dalam bentuk panggilan kepada guru bukan dalam bentuk penulisan nama gelar. Pemberian gelar Anregurutta bukanlah pemberian Gelar akademik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat, atas ketinggian ilmu, pengabdian dan jasanya dalam dakwah keislaman[/note] Haji (AGH) Huzaifah, lahir pada tahun 1939 di Desa Awangnipa Awangpone, kedua orang tuanya bernama H. Maruddin dan H. Becce.
Nama Huzaifah adalah anugrah pemberian dari AGH Muhammad As’ad, masa kecilnya ia biasa dipanggil Setta atau Mustamin. AGH Muhammad As’ad selalu memberikan nama-nama yang bagus kepada santrinya yang dianggap nama itu tidak cocok baginya. Seperti AGH Mukthi Bandung (Imam Masjid Agung Bone 2015) juga diberi nama olehnya, dimana sebelumnya ia bernama Mapparimeng yang diambil dari Bahasa Bugis bermakna situasi yang terjadi ketika ia dilahirkan.
Menurut AGH Mukhti bahwa nama yang diberikan kepadanya dikaitkan dengan nama dari seorang tokoh yang karakter dan penguasaan ilmu pengetahuan agamanya diharapkan dapat ia peroleh. Karena itu, pemberian nama Huzaifah secara khusus menunjukkan adanya perhatian dari AGH Muhamma As’ad kepadanya, perhatian khusus yang dapat berarti adanya kedekatan dan terjalinannya ikatan yang akrab antara murid dan guru.
Menurut AGH Abd Latif Amin (Rais Syuriah Nahdlatul Ulama 2015/ ketua MUI 2015 Kabupaten Bone), AGH Huzaifah adalah adik seperguruannya di Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang tahun 1951/1952. Hal ini berarti AGH Huzaifah hanya berguru kepada AGH Muhammad As’ad sekitar satu tahun atau lebih. Karena AGH Muhammad As’ad meninggal pada tahun 1953. Keterlibatan keduanya sebagai guru dan murid dalam waktu singkat tidak ikut mempersingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh AGH Huzaifah, bahkan ia mewarisi keahlian gurunya sebagai ahli faraidh ditambah, kekuatan hafalan Aal-Qurannya yang terkenal sangat lancar dan dilaluinya dalam waktu yang cukup singkat yaitu hanya enam bulan.
Sepeninggal AGH. Muhammad As’ad Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang kemudian berganti nama dan pimpinan. Sehingga kemudian AGH Huzaifah memperoleh ijazah Tsanawiyah pada tahun 1957, dengan nama MAI yang sudah berganti menjadi Madrasah As’adiyah (MA) Sengkang. Ketua panitia ujian Tsanawiyah (Perguruan Menengah) dalam ijazahnya tersebut bertanda tangan H. A. Junus Martan, penulis Hamzah Manguluang, Ketua Dewan Perguruan MA adalah H. Daud Ismail dan ketua MA adalah H. A. Junus Martan, yang dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 1957.
Pada tanggal 7 s/d 12 Juli tahun 1962 di Parepare, AGH Huzaifah kembali mengikuti ujian akhir Madrasah Aliyah (Madrasah Menengah Atas Islam) di bawah naungan Lembaga Tarbiyah Darud Da’wah Wal-Irsyad, dimana ijazah ini ditanda tangani oleh KH. Abd. Rahman Ambo Dalle dan penulis Amrullah Husain, BA. Hal ini menunjukkan bahwa AGH Huzaifah tidak melanjutkan sekolahnya di Madrasah As’adiyah Sengkang melainkan memilih melanjutkan di Parepare. Terlihat jiwa petualangan sebagai penuntut ilmu yang merupakan tradisi para ulama terdahulu, di mana mereka tidak hanya berguru pada seorang ulama saja, melainkan berpindah-pindah dari satu ulama ke ulama lainnya.
Di Sengkang AGH Huzaifah terhitung sudah berguru dan mengambil berkah dari beberapa ulama seperti; AGH. Muhammad As’ad, AGH. A. Junus Martan, dan AGH. Daud Ismail. Sangat berasalan jika kemudian ia berpindah mencari ilmu dan mengambil berkah dari ulama ternama lainnya yaitu dari AGH. Abd Rahman Ambo Dalle. Jiwa petualangannya juga tergambar setamat dari Lembaga Tarbiyah Darud Da’wah Wal-Irsyad, dengan adanya ia merantau ke Ambon Maluku
Sepulang dari tanah Ambon, AGH Huzaifah kembali ke Kampung dan bekerja sebagai nelayan, selain itu ia kemudian menggelar pengajian di Kampung isterinya (Hj. Sitti Nurbaya) di Desa Watu Kecamatan Cenrana Kabupaten Bone. Karena kapasitas keilmuan dan hafalan al-Quran yang dimilikinya sehingga ia pun diangkat menjadi imam masjid.
Keahliannya dalam bidang agama Islam dan ketenaran di masyarakat membawa namanya tercium oleh AGH Junaid Sulaiman. Sehingga ketika AGH Junaid mengalami pertambahan jumlah santri pada lembaga penghafal al-Quran yang dibukanya sejak tahun 1960, maka sekitar tahun 1965-an ia memanggil AGH Huzaifah untuk menjadi pembina tahfiz di masjid raya. Pada tahun 1968 ia mengikuti ujian guru Agama SD yang diselenggarakan dari tanggal 14 sampai 27 Nopember di Kabupaten Bone, dan mendapat ijazah Guru Agama Sekolah Dasar.
Pada tahun 1970, saat pesantren Ma’had Hadits Biru Bone (sekarang Pesantren Al-Junaidiyah Bone, penghargaan kepada AGH Junadi Sulaiman sebagai penggagas dan pendirinya) mulai dibuka, lembaga tahfiz di masjid raya pun dipindahkan ke lokasi pesantren tersebut di Jl. Biru Bone, dan ulama yang menjadi pengasuh pondok dipercayakan kepada AGH Huzaifah, ia tinggal dalam pondok tersebut dan kemudian dalam perkembangannya secara pribadi ia membeli tanah di samping area Pesantren dan membangun rumah dari hasil kerjanya sendiri.
Pada saat belajar di IAIN Alauddin Makassar, AGH Huzaifah juga sekaligus bertindak sebagai asisten dosen, dimana pada tanggal 5 Desember 1981 ia mendapatkan piagam sebagai dosen Bahasa Arab IAIN Alauddin Watampone.
Pada tahun 1986 AGH Huzaifah memperoleh ijazah dari IAIN Alauddin Ujung Pandang, yang menyatakan kelulusannya dalam ujian doctoral lengkap jurusan Perdata dan Pidana Islam, pada tanggal 18 Mei 1986/ 9 Ramadhan 1406 H, dalam bidang ilmu Syariah, yang ditandatangani oleh dekan sekaligus rektornya Dra. Andi Rasdiyanah.
Dalam kurun tahun 1990 s/d 1998 AGH Huzaifah selain membina Dar al-Huffaz, yang dipusatkan di rumah kediamannya, dimana santri-santri diasramakan dalam petak-petak kamar bagian bawah dari rumah tersebut yang aslinya berbentuk rumah panggung.
Dalam lingkup sekolah Pesantren Biru Bone AGH Huzaifah juga memberikan pengajian kitab yaitu; Kitab Ta’lim Muta’alim oleh Syekh Az-Zarnuji, mengajarkan tentang akhlak atau adat istiadat dalam menuntut ilmu, merupaka kitab dan acuhan sekaligus bimbingan bagi seorang penuntut ilmu agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi dirinya pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Dalam kitab tersebut terdapat banyak sekali petunjuk-petunjuk bagi seorang penuntut ilmu, seperti halnya memilih guru dan teman yang akan di jadikan seorang guru dan teman untuk berdiskusi dan mencari solusi dalam permasalahan yang ada dalam masyarakat, cara memuliakan ilmu dan shohibul ilmi dan masih banyak hal-hal yang berhubungan tentang hak dan kewajiban penuntut ilmu (Beye)