Kesejatian Bukan Logika
Kesejatian adalah puncak perjalanan manusia dalam memahami hakikat kehidupan. Ia bukan sekadar rangkaian logika yang tersusun rapi dalam pola pikir, tetapi pengalaman mendalam yang dirasakan oleh hati. Logika bisa menuntun seseorang pada pengetahuan, tetapi hanya hati yang bisa mengantarkannya kepada makrifat. Seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’i, akal sejati bukan hanya ada di kepala, tetapi bersemayam di dalam hati.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam QS Al-A’raf: 179, “Mereka memiliki hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah).” Ayat ini mengingatkan bahwa manusia bisa saja memiliki ilmu yang luas, tetapi jika tidak digunakan untuk mendekat kepada-Nya, maka ilmu itu menjadi sia-sia. Imam Syafi’i memahami bahwa akal harus dituntun oleh hati yang bersih, bukan sekadar oleh dalil dan kesimpulan logis semata.
Sebagaimana dalam syair Arab:
العلم ما في الصدور لا في السطور
“Ilmu itu apa yang ada di dada, bukan di tulisan.”
Ini adalah peringatan bagi mereka yang mengejar ilmu hanya untuk sekadar memahami konsep dan teori, tanpa menjadikannya sebagai jalan menuju kebenaran sejati. Ilmu yang hanya tertulis di kertas tidak akan memiliki makna jika tidak meresap ke dalam dada dan membentuk pribadi yang arif.
Imam Al-Ghazali adalah contoh nyata dari seorang pencari kesejatian. Ia adalah seorang filosof besar, seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Namun, di tengah kejayaan intelektualnya, ia merasakan kekosongan. Ia merasa bahwa ilmu yang ia miliki belum menghantarkannya kepada hakikat sejati.
Kebimbangan ini akhirnya membuatnya mengambil jalan sunyi. Ia meninggalkan jabatannya, meninggalkan dunia akademik, dan memilih berkhalwat. Ia mencari jawaban bukan dari buku-buku filsafat, tetapi dari kedalaman jiwanya sendiri. Selama bertahun-tahun ia menyepi, mengolah hati, membersihkan jiwa, hingga akhirnya menemukan kesejatian dalam kedekatannya kepada Allah.
Perjalanan Imam Ghazali mengajarkan bahwa ilmu, sehebat apa pun, tetap bukan tujuan akhir. Ilmu adalah kendaraan, sedangkan kesejatian adalah tujuan. Jika seseorang terjebak dalam ilmu tanpa memahami hakikatnya, maka ia hanya akan menjadi seperti seseorang yang sibuk membaca peta tanpa pernah melakukan perjalanan.
Banyak orang menganggap bahwa logika adalah segalanya, bahwa dengan berpikir rasional, segala sesuatu bisa ditemukan jawabannya. Namun, sejarah membuktikan bahwa kebenaran sejati sering kali tidak ditemukan di dalam argumentasi logis semata. Bahkan, banyak pemikir besar yang akhirnya tunduk pada hati, karena logika mereka gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan paling mendalam tentang kehidupan dan ketuhanan.
Kesejatian tidak bisa dijangkau oleh mereka yang hanya bergantung pada akal. Ia membutuhkan hati yang bersih, yang mampu menangkap cahaya Ilahi. Hati yang tertutup oleh kesombongan ilmu justru bisa menjadi penghalang terbesar dalam menemukan kesejatian.
Ilmu yang sejati bukanlah yang membuat seseorang merasa lebih unggul dari yang lain, tetapi ilmu yang membawanya kepada ketawadhuan. Semakin dalam seseorang memahami ilmu, seharusnya semakin sadar ia akan kebodohannya. Sebagaimana kata Imam Syafi’i, “Semakin aku belajar, semakin aku sadar betapa sedikitnya ilmuku.”
Kesejatian bukanlah tentang seberapa banyak seseorang tahu, tetapi seberapa dalam ia merasakan kebenaran itu dalam hatinya. Jika ilmu tidak membawa seseorang kepada kebaikan dan ketakwaan, maka ilmu itu tidak lebih dari sekadar kumpulan informasi yang tak bernilai.
Lalu, bagaimana kita bisa menemukan kesejatian? Jawabannya ada dalam kebeningan hati, dalam ketulusan mencari kebenaran, dan dalam keberanian untuk meninggalkan kebanggaan intelektual demi menerima cahaya Ilahi.
Maka, janganlah sibuk mencari kebenaran di luar diri sebelum menyelami hati sendiri. Sebab, bisa jadi kesejatian itu sudah lama ada di sana, hanya saja terlalu sibuk berpikir hingga lupa merasakannya.
Jika kesejatian itu masih sulit ditemukan, mungkin perlu mengikuti jejak Imam Ghazali—ambil waktu menyepi, tenangkan hati, dan jangan lupa, kalau terlalu serius, nanti malah tambah bingung. Wallahu A’lam Bissawab