BULLY: ITU BUKAN GAYA LO…!

Menurut Olweus, bullying yaitu perilaku negatif yang mengakibatkan seseorang dalam keadaan tidak nyaman atau terluka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perundungan (bullying) berasal dari kata “rundung” artinya adalah mengganggu, mengusik terus menerus dan menyusahkan. Bullying atau perundungan dapat terjadi kepada siapa saja, tak memandang kalangan usia, ras, atau pun gender. Bullying juga dapat terjadi di mana saja, mulai dari sekolah, tempat kerja, lingkungan sosial, atau bahkan di dunia maya.

Namun menurut sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Social Sciences & Humanities, bentuk bullying yang paling umum terjadi di seluruh dunia adalah ditertawakan. Studi yang sama juga mengungkap bahwa, dari 51 negara yang mengikuti PISA atau Program Asesmen Siswa Internasional pada 2015 dan 2018. Terdapat tiga negara dengan kasus bullying tertinggi, yaitu: Republik Dominika (32.87 %), Latvia (32.47 %), Hong Kong (30.82 %). Di Republik Dominika, bentuk bullying paling umum adalah rumor dan ejekan dengan proporsi masing-masing sebesar 21, 08 % dan 20, 26 %. Berikutnya, siswa dikucilkan (19, 8 %) dan dirampas barangnya (18, 1 %). Kemudian, siswa diancam (14, 5 %) dan dipukul (11, 67 %). Riset Kemendikbudristek tahun 2022 mengungkap fakta 36, 31 % siswa berpotensi mengalami bullying, baik verbal, fisik, maupun cyber. Ironisnya, hanya 13, 54 % yang berani melapor. Data lain dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI), menyebutkan kasus bullying yang terjadi di satuan pendidikan cenderung meningkat dari 21 kasus di tahun 2022, menjadi 30 kasus di tahun 2023. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut, terjadi 87 kasus bullying dari 2355 kasus pelanggaran anak yang dilaporkan.

Berdasarkan data di atas, anak laki-laki lebih mungkin menjadi pelaku perundungan dibandingkan anak Perempuan. Hal ini disebabkan, karena anak laki-laki seringkali diajarkan untuk menekan emosi seperti kesedihan, ketakutan, atau kerentanan. Akibatnya, mereka mungkin mencari cara lain untuk melampiaskan emosi negatif tersebut. Salah satunya melalui bullying, dan anak laki-laki cenderung lebih agresif dalam mengekspresikan diri dibandingkan anak perempuan. Bullying bisa menjadi cara mereka untuk berkomunikasi atau menyelesaikan konflik.

Sementara itu, bullying sering kali terjadi juga di pondok pesantren, sudah menjadi rutinitas yang selalu terjadi. Sepanjang tahun terdapat berbagai kasus perundungan dalam lingkup pesantren. Seperti yang pernah terjadi pada awal 2024, tepatnya pada tanggal 23 Februari, kematian Bintang Balqis Maulana (14) menjadi pembuka atas kasus bullying di Pondok Pesantren. Ia merupakan santri Pondok Pesantren Al-Hanifiyyah di Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur (https://news.detik.com/berita…). Pada tubuhnya ditemukan sejumlah luka lebam, bekas sundutan rokok di kaki, luka jeratan leher, patah hidung, hingga luka di bagian dada. Mirisnya, pihak pesantren justru mengklaim bahwa kematian Bintang disebabkan karena terjatuh di kamar mandi. Bahkan, pengasuh pondok pesantren tersebut tidak mengetahui adanya tragedi yang menimpa santrinya. Hal tersebut menunjukkan betapa kurang pengawasan yang dilakukan oleh pihak pesantren. Seharusnya pihak pesantren lebih memperhatikan apa yang terjadi dalam lingkungannya. Misalnya, mendengarkan keluh kesah dari santri, dan pihak pesantren tidak mendengarkan cerita dari sebelah sisi saja, tetapi juga mendengarkan seluruh elemen yang bersangkutan.

Berlandaskan dari kisah di atas Antonius P.S. Wibowo melalui bukunya yang berjudul “Penerapan Hukum Pidana dalam Penanganan bullying di Sekolah” membagi tindakan perundungan menjadi tiga jenis, yakni: bullying fisik, bullying verbal, dan bullying psikologis. Selain jenis perundungan yang telah disebutkan oleh Antonius P.S. Wibowo terdapat pula dua jenis perundungan lain yang dikemukakan oleh McCulloch dan Barbara, yakni: social bullying, dan cyber bullying.

Pada beberapa jenis bullying di atas menimbulkan beberapa penyebab terjadinya bullying di lingkungan sekitar, diantaranya: Pernah melihat orang lain melakukan kekerasan, Kesalahan pola asuh keluarga yang terlalu keras, Pernah menjadi korban bully, Kurang mendapatkan perhatian dari keluarga dan orang di sekitarnya, Supaya bisa berbaur dan berteman, Ingin memiliki kekuasaan dan memegang kendali, serta pengaruh game yang dimainkan. Oleh karena itu, bullying merupakan salah satu perilaku yang harus dihilangkan dalam dunia ini, sehingga Masyarakat harus mengetahui bagaimana cara mencegah perilaku bullying agar tidak terjadi lagi. Adapun beberapa cara mencegah bullying yakni: (a) Angkat topik bullying dalam obrolan seperti menyelenggarakan program-program yang bertujuan untuk mencegah bullying, contohnya kampanye anti-bullying atau workshop untuk orang tua; (b) Hadapi pelaku bullying dengan cara melaporkan kejadian bullying kepada orang dewasa yang dipercaya, seperti guru, orang tua, atau konselor. Jika memungkinkan, dokumentasikan bukti-bukti bullying, seperti pesan atau foto; (c) Tingkatkan kepercayaan diri dengan melibatkan diri dalam kegiatan yang anda sukai untuk meningkatkan rasa percaya diri; dan (d) Fokus pada kekuatan, ingatkan diri sendiri tentang hal-hal positif yang anda miliki.

Hukuman kepada pelaku bullying sebenarnya telah diatur dalam beberapa UU yang ada di Indonesia seperti yang disebutkan dalam Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dengan ancaman maksimal 2 tahun 8 bulan pidana penjara. Pasal ini dapat diterapkan apabila pelaku bullying melakukan kekerasan fisik terhadap korban, seperti memukul, menendang, menjambak, mencubit, mencakar, dan lain-lain. Pada dasarnya, bullying fisik maupun verbal diatur dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi sebagai berikut: Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak. Selanjutnya, jika larangan di atas dilanggar, pelaku bisa dijerat Pasal 80 UU 35/2014, yaitu: Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76C UU 35/2014, dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau denda paling banyak Rp72 juta. Apabila anak mengalami luka berat, maka pelaku dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta, dan apabila anak meninggal dunia, maka pelaku dipidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp3 miliar. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan pada ayat (1), (2), dan (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Akan tetapi, pelaku bullying sering kali dilakukan oleh kalangan anak di bawah umur, yang menyebabkan anak tidak dituntut sehingga pelaku bullying di bawah umur merasa bebas untuk mem-bully. Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak di bawah umur memiliki hak dan perlindungan khusus dalam hukum, karena mereka dianggap belum memiliki kemampuan dan tanggung jawab penuh atas perbuatannya. Anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana tidak disebut sebagai tersangka atau terdakwa, melainkan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Anak yang berhadapan dengan hukum tidak dituntut dengan pidana penjara, melainkan dengan pidana khusus berupa diversi, pembinaan, atau rehabilitasi.

Pelaku diharapkan memahami bahwa tindakan bullying bukan lagi sekadar perbuatan iseng, melainkan tindakan yang dapat berujung pada sanksi hukum. Dengan mengetahui adanya undang-undang, mereka akan lebih berpikir panjang sebelum melakukan tindakan bullying. Dan hukuman yang diberikan bukan hanya sekedar hukuman, tetapi juga sebagai sarana untuk merubah perilaku pelaku. Melalui proses hukum, pelaku diharapkan dapat memahami kesalahan yang telah dilakukan dan berusaha untuk memperbaiki diri.

Oleh karena itu dapat disimpulkan, bahwa bullying sangat merugikan bagi seluruh kalangan yang ada di dunia. Terlebih lagi terhadap kalangan anak muda yang masih membutuhkan perhatian lebih dari orang di sekitarnya. Penulis berharap semoga setiap individu memiliki keberanian untuk melawan dan melaporkan tindakan bullying. Diharapkan juga untuk orang yang peduli akan perilaku bullying lebih memperhatikan korban serta mendengar keluh kesahnya sehingga korban bullying tidak merasa sendirian dan berani untuk berbicara.

Ditulis Oleh: Husnul Fahimah dan Rita Nur Ramadhani (Anggota KIAR MA Al-Junaidiyah Biru)