Syekh Zainal Abidin dari Pammana Wajo: Jejak Ulama Bugis, Manuskrip Al-Qur’an, dan Warisan Pendidikan Islam

Syekh Zainal Abidin dari Kali Pammana, Wajo, adalah salah satu tokoh ulama penting yang jejaknya masih dapat dilacak melalui karya, peran sosial, dan penghormatan masyarakat Bugis hingga kini. Ia dikenal dengan nama lengkap Syekh Zainal Abidin bin Syekh Al-Khatib Umar al-Jawi al-Bugisi al-Wajui al-Fammani. Nisbah itu menunjukkan asal-usulnya yang kuat dari Wajo, khususnya daerah Pammana, serta keterhubungannya dengan tradisi intelektual Islam Bugis yang kemudian merambah ke wilayah lain di Nusantara. Kehadirannya menjadi bukti bahwa pada abad ke-19, Pammana bukan sekadar pusat politik kecil dalam lingkup kerajaan Wajo, melainkan juga sebuah simpul penting bagi penyebaran ilmu agama dan pendidikan Islam.

Kehidupan Syekh Zainal Abidin merefleksikan sebuah pola yang umum ditemui dalam jaringan ulama Nusantara pada masa itu: menimba ilmu di tanah kelahiran, memperkuat jejaring keilmuan dengan ulama Haramain, lalu kembali membangun basis intelektual dan spiritual di tanah Bugis. Posisi beliau sebagai seorang Kadhi di Pammana sekitar tahun 1886–1889 memperlihatkan legitimasi otoritas keagamaannya. Sebagai Kadhi, ia bukan hanya memutus perkara hukum, tetapi juga mengajarkan prinsip-prinsip Islam, memberi teladan, dan membentuk pola keberagamaan masyarakat Bugis yang selaras dengan nilai-nilai syariat.

Peran Syekh Zainal Abidin tidak terbatas di Wajo semata. Sumber-sumber menyebutkan bahwa ia juga memiliki keterhubungan dengan komunitas Bugis perantauan, termasuk di Pontianak. Hal ini dapat dilacak dari keberadaan mushaf Al-Qur’an kuno yang ditulis tangannya pada tahun 1846. Dalam kolofon mushaf tersebut tercatat bahwa ia menyelesaikan penyalinan lengkap Al-Qur’an, termasuk tanda baca dan tajwid, hanya dalam empat puluh hari. Mushaf itu bukan sekadar hasil keterampilan tulis menulis, tetapi juga mencerminkan kedalaman spiritual dan disiplin keilmuan yang tinggi, yang sulit ditandingi pada masa kini.

Mushaf Pontianak yang dihasilkan oleh Syekh Zainal Abidin memperlihatkan keindahan iluminasi serta ketelitian dalam menyalin teks suci. Ia bukan hanya menyalin huruf demi huruf, tetapi juga memastikan pembubuhan harakat dan jadwal tajwid, sehingga mushaf itu sekaligus menjadi sarana pembelajaran bagi umat. Karya semacam ini membuktikan bahwa ulama Bugis tidak sekadar penerima tradisi keilmuan Islam dari pusat-pusat besar seperti Makkah, melainkan juga mampu menjadi produsen pengetahuan dan keindahan seni Islam yang relevan bagi masyarakat Muslim lokal.

Kedalaman karya tersebut juga menegaskan pentingnya peran ulama Bugis dalam membangun jembatan antara tradisi lokal dan khazanah keilmuan Islam global. Dengan menyelesaikan penyalinan mushaf hanya dalam waktu singkat, Syekh Zainal Abidin menampilkan etos kerja yang berpadu dengan spiritualitas. Hal ini menjadi contoh nyata bagaimana ulama Bugis menginternalisasi nilai disiplin, kesungguhan, dan pengabdian terhadap agama, sehingga ilmunya memberi manfaat lintas ruang dan waktu.

Keberadaan mushaf tersebut juga menjadi bukti konkret bahwa ulama Bugis pada abad ke-19 sudah memiliki mobilitas intelektual yang luas. Mereka berjejaring dengan dunia Melayu, Kalimantan, bahkan hingga Haramain. Koneksi inilah yang menjadikan ajaran Islam di Bugis memiliki warna yang khas, yaitu paduan antara ortodoksi Ahlussunnah wal Jama’ah dan keluwesan budaya lokal. Syekh Zainal Abidin menjadi salah satu figur sentral yang menjembatani hal tersebut melalui peran sosialnya di Wajo maupun karya intelektualnya di rantau.

Selain karya tulisnya, jejak Syekh Zainal Abidin juga terpatri dalam memori kolektif masyarakat Bugis melalui penghormatan di situs makamnya. Hingga kini, makam beliau di desa Taddangpalie, Kecamatan Pammana, menjadi tempat ziarah masyarakat. Aktivitas ziarah ini bukan sekadar penghormatan personal, melainkan juga bentuk pengakuan akan jasa dan keteladanan seorang ulama yang telah menanamkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Dalam tradisi Bugis, ziarah makam ulama merupakan bagian dari kesinambungan spiritual yang menjaga hubungan antara generasi kini dengan para pendahulu.

Ziarah ke makam Syekh Zainal Abidin mencerminkan pandangan bahwa ulama bukan hanya guru di dunia, tetapi juga tetap menjadi wasilah keberkahan setelah wafatnya. Keberadaan makam itu memperkuat identitas Pammana sebagai ruang religius yang pernah melahirkan tokoh besar. Hal ini juga menjadi modal sosial-budaya dalam membangun kesadaran keislaman masyarakat Wajo di masa kini, yang semakin ditantang oleh arus modernitas dan globalisasi.

Di sisi lain, penelitian akademik kontemporer memperlihatkan minat yang semakin meningkat terhadap figur Syekh Zainal Abidin. Disertasi terbaru yang mengkaji ketokohannya dalam bidang pendidikan Islam menegaskan bahwa ia bukan hanya ulama yang mengajar kitab, melainkan juga pendidik yang menanamkan nilai-nilai kebersahajaan, kesetiaan pada agama, dan keterbukaan terhadap budaya lokal. Dengan pendekatan historis, pedagogis, dan sosio-antropologis, para peneliti menempatkannya sebagai bagian dari jaringan ulama transnasional yang memiliki dampak besar di tanah Bugis.

Relevansi tokoh seperti Syekh Zainal Abidin semakin nyata ketika kita memahami tantangan pendidikan Islam saat ini. Model yang ia wariskan, yaitu mengintegrasikan kedalaman ilmu dengan praktik sosial, dapat menjadi inspirasi dalam merumuskan pendidikan Islam yang moderat, humanis, dan kontekstual. Kekuatan utama pendidikan Islam ala ulama Bugis adalah kemampuannya menjaga keseimbangan antara teks dan konteks, antara syariat dan budaya, serta antara spiritualitas dan rasionalitas.

Kisah hidup dan karya Syekh Zainal Abidin juga memberi pesan tentang pentingnya etos kerja dalam dunia pendidikan. Menyalin mushaf dalam 40 hari adalah simbol kesungguhan dalam mengerjakan sesuatu dengan ikhlas dan disiplin. Dalam dunia modern yang serba cepat namun dangkal, teladan seperti ini sangat relevan untuk membangun generasi Muslim yang bukan hanya pintar secara akademis, tetapi juga kuat secara moral dan spiritual.

Dengan demikian, Syekh Zainal Abidin dari Pammana adalah figur yang berhasil menghubungkan tiga dunia sekaligus: dunia lokal Bugis, dunia Islam Melayu, dan dunia keilmuan global Islam. Ia menunjukkan bahwa Bugis tidak pernah berada di pinggiran dalam peta keilmuan Islam, melainkan ikut menjadi bagian dari arus utama perkembangan Islam di Nusantara. Jejaknya yang tertulis dan terpatri dalam tradisi oral masyarakat menjadi bukti nyata warisan intelektual yang harus terus digali.

Seiring dengan itu, perlu ada upaya yang lebih sistematis untuk mendokumentasikan karya-karya ulama Bugis seperti Syekh Zainal Abidin. Penelitian filologis, studi lapangan, hingga pendekatan sejarah sosial perlu terus digalakkan agar kontribusi mereka tidak hilang ditelan zaman. Manuskrip yang ditulis di Pontianak, makam yang diziarahi di Pammana, dan memori kolektif masyarakat adalah sumber berharga yang menanti untuk terus diolah menjadi pengetahuan baru bagi dunia akademik dan masyarakat luas.

Akhirnya, Syekh Zainal Abidin bukan hanya bagian dari sejarah Wajo, melainkan bagian dari sejarah Islam Nusantara yang lebih besar. Figur seperti beliau membuktikan bahwa Islam di Bugis tumbuh dengan corak khas: teguh pada ajaran, kaya dalam budaya, dan luas dalam jejaring. Warisan tersebut harus terus dijaga, karena dari situlah kita belajar bagaimana ulama memainkan peran penting sebagai penopang agama, budaya, dan peradaban.

Zaenuddin Endy
Pengurus Lakpesdam PWNU Sulawesi Selatan 2024-2029