Politik Santri: Pesantren dalam Kekuasaan Panggung Nasional
Sejarah panjang pesantren di Indonesia tidak hanya membicarakan soal pendidikan dan transmisi ilmu agama, melainkan juga keterlibatan aktif dalam panggung politik nasional. Santri, dengan tradisi keilmuan dan militansi keagamaannya, menjadi aktor penting dalam mengawal dinamika kebangsaan sejak masa kolonial hingga era modern. Politik santri merepresentasikan pertemuan antara tradisi pesantren yang berakar pada nilai-nilai Islam dengan realitas sosial-politik bangsa yang terus berkembang.
Pada masa pergerakan nasional, banyak kiai pesantren yang terjun langsung memimpin gerakan perlawanan terhadap kolonialisme. Santri bukan hanya menjadi penghafal kitab, tetapi juga pejuang yang mengangkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan. Pidato dan fatwa para ulama pesantren sering menjadi spirit perjuangan rakyat. Dari sinilah politik santri lahir bukan dari ruang kekuasaan formal, tetapi dari basis moral dan spiritual yang kuat.
Ketika Indonesia merdeka, keterlibatan santri dalam politik semakin nyata. NU, yang berakar pada kultur pesantren, terjun dalam politik praktis dan ikut serta dalam percaturan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa santri tidak menutup diri dari arena politik, melainkan berusaha menegakkan keadilan, memperjuangkan kepentingan umat, dan menjaga harmoni bangsa melalui jalur konstitusional. Politik santri adalah politik kebangsaan, bukan politik sektarian.
Peran politik santri juga tampak dalam keterlibatan mereka pada Konstituante 1950-an. Para ulama pesantren menyumbangkan gagasan mengenai dasar negara, konstitusi, dan arah pembangunan nasional. Meski terdapat perbedaan pandangan antara Islamis dan nasionalis, politik santri tetap hadir sebagai penengah yang mengedepankan prinsip maslahat, persatuan, dan keutuhan bangsa.
Memasuki era Orde Baru, santri menghadapi tantangan baru. Pesantren ditekan untuk tidak terlalu jauh masuk dalam politik praktis. Namun, di balik keterbatasan itu, politik santri tetap bergerak melalui jalur sosial, pendidikan, dan kultural. NU di bawah KH. Abdurrahman Wahid, misalnya, mengambil posisi strategis sebagai kekuatan moral yang kritis terhadap negara tanpa kehilangan jati diri pesantren.
Gus Dur menjadi simbol paling nyata dari politik santri yang naik ke panggung kekuasaan nasional. Dari ruang pesantren, ia menapaki karier politik hingga menjadi Presiden Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa politik santri bukanlah mitos, melainkan realitas sejarah yang mengantarkan putra pesantren memimpin bangsa. Gus Dur membuktikan bahwa santri mampu mengartikulasikan nilai-nilai keagamaan menjadi visi politik kebangsaan yang universal.
Era Reformasi membuka ruang lebih luas bagi politik santri. Banyak tokoh pesantren dan alumni santri masuk ke parlemen, partai politik, bahkan pemerintahan. Mereka membawa spirit moderasi Islam dan etika kepemimpinan yang berakar dari nilai pesantren. Keterlibatan santri dalam birokrasi negara menjadi bukti bahwa pesantren bukan lembaga yang terisolasi, melainkan institusi yang terus bergerak mengikuti perkembangan zaman.
Namun, keterlibatan santri dalam politik juga menghadirkan dilema. Di satu sisi, ia menjadi ruang aktualisasi untuk memperjuangkan aspirasi umat. Di sisi lain, risiko politisasi agama dan kooptasi pesantren oleh kepentingan politik praktis selalu mengintai. Santri harus menjaga jarak agar tidak kehilangan independensi moral yang menjadi kekuatan utamanya.
Politik santri sejatinya tidak dimaksudkan untuk merebut kekuasaan semata. Ia lebih merupakan upaya menghadirkan nilai etis dalam praktik politik bangsa. Nilai-nilai seperti kejujuran, amanah, kepedulian sosial, dan kebersamaan adalah warisan utama pesantren yang harus mewarnai ruang politik nasional.
Di tengah maraknya politik transaksional, santri diharapkan tetap menjadi penjaga moral bangsa. Kehadiran santri dalam politik harus menjadi penyeimbang, bukan sekadar pelengkap. Politik santri yang ideal adalah politik yang berpihak pada rakyat kecil, melawan ketidakadilan, dan menjaga pluralitas Indonesia.
Pesantren juga memiliki modal sosial yang besar dalam membangun politik kebangsaan. Jaringan ulama dan alumni pesantren tersebar di seluruh Indonesia, menjadikan santri sebagai kekuatan politik yang solid sekaligus fleksibel. Modal ini jika dikelola dengan baik dapat menjadi penopang demokrasi yang sehat dan berkeadaban.
Dalam konteks kontemporer, santri dituntut untuk mampu merespons tantangan global. Isu-isu seperti demokrasi, HAM, lingkungan, dan digitalisasi membutuhkan perspektif politik yang arif dan bijaksana. Pesantren dengan basis keilmuan dan nilai moderasinya dapat menawarkan solusi politik yang tidak hanya lokal, tetapi juga relevan di tingkat global.
Santri juga harus mampu mengartikulasikan Islam rahmatan lil alamin dalam politik. Hal ini bukan sekadar jargon, melainkan praktik nyata dalam kebijakan publik yang berpihak pada kesejahteraan rakyat, menjaga toleransi, dan membangun keadilan sosial. Politik santri yang demikian akan memperlihatkan bahwa agama dapat menjadi sumber inspirasi bagi tata kelola negara yang lebih manusiawi.
Jika dilihat secara historis, politik santri adalah politik jalan tengah. Ia tidak radikal, tetapi juga tidak pragmatis. Politik santri berdiri di atas prinsip kemaslahatan umat, loyalitas terhadap bangsa, dan kesetiaan pada nilai-nilai Islam yang inklusif. Itulah yang membuat politik santri tetap relevan hingga kini.
Pesantren sebagai basis lahirnya politik santri akan terus menjadi bagian integral dari perjalanan politik Indonesia. Selama pesantren mampu menjaga independensinya, politik santri akan tetap menjadi kekuatan moral bangsa. Kekuasaan hanyalah sarana, sedangkan tujuan utamanya adalah menghadirkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, politik santri bukan sekadar catatan sejarah, tetapi juga proyek masa depan. Santri harus terus mengawal demokrasi, menegakkan keadilan, dan menjaga persatuan bangsa. Di tengah dinamika politik nasional yang kerap penuh intrik, politik santri harus tampil sebagai wajah politik yang ramah, santun, dan berlandaskan nilai kemanusiaan universal.