Menelusuri Jejak KH. Syekh Sayyid Djamaluddin Assegaf (Puang Ramma): Muassis dan Penggerak NU Sulawesi Selatan

KH. Syekh Sayyid Djamaluddin Assegaf, atau lebih dikenal dengan sebutan Puang Ramma, adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah awal perkembangan Nahdlatul Ulama (NU) di Sulawesi Selatan. Sosoknya tidak hanya dikenal sebagai ulama berpengaruh, tetapi juga sebagai muassis NU yang membawa mandat langsung dari pusat untuk membumikan NU di wilayah Bugis-Makassar. Kiprah keulamaan dan perjuangannya menjadi pilar penting bagi terbentuknya jaringan keilmuan dan organisasi Islam tradisional yang mengakar kuat di tengah masyarakat.

Puang Ramma berasal dari keluarga habaib yang dikenal menjaga muru’ah, ilmu, dan silsilah keilmuan yang bersambung hingga Rasulullah saw. Nama “Assegaf” dalam dirinya menunjukkan garis keturunan dari keluarga besar Sayyid yang banyak berkiprah dalam dakwah Islam di Nusantara. Ia tumbuh dalam tradisi keilmuan yang kuat.

Puang Ramma mengabdikan diri sebagai pembina masyarakat, pengasuh pengajian, dan guru spiritual. Ia dikenal memiliki pendekatan dakwah yang lembut namun tegas, mengutamakan hikmah dan keteladanan. Dakwahnya menjangkau Bone, Wajo, Soppeng, hingga ke daerah pesisir seperti Parepare dan Bulukumba. Ia membina majelis-majelis taklim dan komunitas-komunitas keagamaan yang menjunjung nilai tawassuth, tasamuh, dan tawazun.

Peran strategis Puang Ramma dalam pendirian NU di Sulawesi Selatan bermula saat ia menerima mandat langsung dari KH. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI dan salah satu tokoh kunci NU pusat. Mandat itu bukan sekadar simbol kepercayaan, tetapi juga amanah besar untuk membangun NU sebagai kekuatan sosial-keagamaan yang mampu merawat tradisi keislaman dan merespon tantangan zaman. Bersama KH. Muhammad Ramli dan KH. Syaifuddin, Puang Ramma merintis jalan berat menegakkan NU di wilayah yang sebelumnya didominasi oleh kelompok keagamaan modernis.

Dalam berbagai forum silaturahmi ulama dan tokoh masyarakat, Puang Ramma selalu menyuarakan pentingnya menjaga sanad keilmuan, menghormati ulama lokal, dan merawat nilai-nilai Islam Nusantara yang adaptif terhadap budaya lokal. Ia bukan hanya seorang organisator, tetapi juga seorang mursyid yang memadukan ilmu lahir dan batin. Kehadirannya menjadi penyejuk di tengah masyarakat yang saat itu mulai mengalami friksi ideologis dalam memahami ajaran Islam.

Puang Ramma juga berperan besar dalam mengembangkan lembaga pendidikan non-formal berbasis halaqah dan sorogan. Di rumahnya, para santri dan masyarakat umum bebas datang untuk belajar kitab kuning, wirid-wirid, serta mendalami adab dalam beragama. Ia menanamkan pentingnya akhlak sebelum ilmu, dan keikhlasan sebelum popularitas. Gaya pendidikannya yang penuh kasih sayang namun mendalam secara intelektual menjadikan ia dihormati lintas golongan.

Sebagai ulama tarekat, Puang Ramma tidak memisahkan antara syariat dan hakikat. Ia sering menyampaikan bahwa praktik ibadah yang benar harus dibarengi dengan pemahaman spiritual yang mendalam. Dalam khutbah dan pengajiannya, ia menekankan nilai-nilai ihsan dan muraqabah, memperkenalkan ajaran tasawuf sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam yang kaffah. Ia menjadi jembatan antara ulama fiqih dan ulama sufi yang kerap kali disalahpahami sebagai dua kutub yang bertentangan.

Puang Ramma juga turut berperan dalam proses rekonsiliasi sosial pada masa pasca-kemerdekaan. Ketika konflik politik dan ideologi mengancam kohesi sosial, ia tampil sebagai penengah yang mampu meredam ketegangan melalui pendekatan keagamaan dan spiritual. Nasihat-nasihatnya kepada pemimpin lokal maupun nasional sering menjadi acuan dalam mengambil kebijakan yang bijaksana dan merangkul semua elemen.

Dalam struktur NU, Puang Ramma menjadi rujukan dalam bidang keilmuan dan spiritualitas. Ia tidak mengejar jabatan formal, tetapi peran dan pengaruhnya sangat besar. Banyak keputusan-keputusan penting dalam organisasi yang tidak dilepaskan dari pandangannya. Ia menjadi penentu arah moral dan spiritual NU Sulsel, menjadikan organisasi ini tidak hanya bergerak secara struktural, tetapi juga memiliki ruh keulamaan yang kuat.

Warisan keilmuan Puang Ramma dapat dilacak melalui murid-muridnya yang kini menjadi ulama dan kiai terkemuka di berbagai kabupaten di Sulawesi Selatan. Mereka meneruskan tradisi mengaji kitab klasik, melestarikan dzikir-dzikir tarekat, dan menjaga budaya pesantren yang bersahaja. Melalui murid-muridnya, ajaran dan semangat Puang Ramma terus hidup dan berkembang, menjadi bagian tak terpisahkan dari wajah keislaman Bugis-Makassar.

Konsistensinya dalam berdakwah tanpa pamrih membuat nama Puang Ramma harum hingga saat ini. Ia menjadi teladan bagi para ulama muda yang ingin meniti jalan dakwah dengan keikhlasan dan integritas. Bahkan, banyak tokoh politik dan birokrat yang datang kepadanya untuk meminta nasihat spiritual sebelum mengambil keputusan penting. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh moral dan kebijaksanaan yang dimilikinya.

Meski tidak banyak menulis karya dalam bentuk kitab atau buku, pengaruh intelektual dan spiritual Puang Ramma sangat terasa. Ia lebih memilih mentransmisikan ilmunya secara langsung melalui lisan dan praktik hidup. Ceramah-ceramahnya direkam dalam memori kolektif masyarakat, dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara oral dan simbolik. Ia menjadi contoh nyata ulama pewaris Nabi yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menghadirkan keteduhan dalam kehidupan umat.

Setelah wafatnya, KH. Syekh Sayyid Djamaluddin Assegaf atau Puang Ramma tetap dikenang sebagai pilar keulamaan Sulawesi Selatan. Namanya disebut dengan penuh hormat dalam setiap haul, musyawarah ulama, dan forum keagamaan. Makamnya menjadi tempat ziarah spiritual yang ramai dikunjungi, bukan untuk kultus, tetapi sebagai penghormatan kepada sosok yang telah mengabdikan hidupnya untuk Islam dan umat.

Menelusuri jejak Puang Ramma berarti menelusuri fondasi NU Sulawesi Selatan yang dibangun dengan ilmu, ketekunan, dan kasih sayang. Ia tidak hanya berjasa dalam dimensi organisatoris, tetapi juga menjadi ruh moral dan spiritual gerakan Islam tradisional di kawasan timur Indonesia. Dalam konteks sejarah NU, Puang Ramma adalah simbol integrasi antara ilmu, tarekat, dan kebangsaan.

Di tengah tantangan zaman yang kian kompleks, warisan nilai-nilai dari Puang Ramma sangat relevan. Semangatnya dalam memadukan tradisi dan kemajuan, menjaga kearifan lokal sambil berpikir global, serta membumikan ajaran Islam dalam bingkai budaya Nusantara adalah pelajaran penting bagi generasi penerus. Semoga semangat dan teladan beliau terus menjadi cahaya penerang dalam perjuangan dakwah Islam yang rahmatan lil ‘alamin.