Mabbarazanji, Mappanre Temme, dan Mappacci
Mabbarazanji, Mappanre Temme, dan Mappacci: Rangkaian Acara Pengantin Bugis
Oleh:Zaenuddin Endy
Ketua Harian DPP Ikatan Alumni Pesantren Modern (IKAPM) Aljunaidiyah Bone
Dalam tradisi masyarakat Bugis, rangkaian acara adat menjelang pernikahan memiliki kedudukan yang sangat sakral. Tiga di antaranya yang paling menonjol adalah Mabbarazanji, Mappanre Temme, dan Mappacci. Ketiganya menjadi bagian integral dari ritual persiapan pernikahan yang tidak hanya bersifat seremoni, tetapi juga sarat makna spiritual dan kultural. Ketiga prosesi ini menjadi simbol bahwa pernikahan bukan sekadar ikatan lahiriah antara dua individu, melainkan juga penyatuan yang diberkahi secara spiritual dan direstui oleh masyarakat serta leluhur.
Mabbarazanji adalah tradisi pembacaan syair-syair Barzanji, yang menceritakan sejarah dan keagungan Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini merupakan warisan dari proses Islamisasi di Sulawesi Selatan, khususnya di kalangan bangsawan Bugis, yang kemudian menyebar luas ke seluruh lapisan masyarakat. Mabbarazanji bukan hanya bentuk pujian kepada Nabi, tetapi juga sebagai upaya menghadirkan keberkahan dalam momentum penting, termasuk pernikahan. Kehadiran doa dan pujian kepada Nabi menjadi simbol bahwa kehidupan rumah tangga yang akan dibangun harus berlandaskan akhlak dan keteladanan Rasulullah.
Mappanre Temme merupakan tradisi khataman Al-Qur’an yang dilakukan oleh calon pengantin, biasanya perempuan, sebagai bentuk penyucian jiwa dan pemenuhan kewajiban spiritual sebelum memasuki fase hidup baru. Dalam masyarakat Bugis, seorang perempuan dianggap telah mencapai kedewasaan spiritual jika ia mampu menuntaskan bacaan Al-Qur’an, yang juga menjadi simbol bahwa ia siap menjadi pendidik pertama bagi anak-anaknya kelak. Khataman ini tidak hanya dilakukan secara pribadi, tetapi juga dirayakan bersama keluarga dan masyarakat sebagai bentuk apresiasi.
Sementara itu, Mappacci adalah upacara pembersihan diri yang dilakukan malam sebelum ijab kabul. Ritual ini dilakukan dengan cara mengoleskan daun pacar (pacci) ke tangan calon pengantin oleh para sesepuh keluarga. Daun pacar yang melambangkan kesucian dan keindahan dipakai untuk membersihkan dan menghias tangan sebagai simbol kesiapan dan keberkahan. Prosesi ini biasanya diiringi dengan doa-doa dan petuah dari orang tua serta tokoh adat agar calon pengantin siap secara lahir dan batin menghadapi kehidupan rumah tangga.
Ketiga acara ini dirangkaikan dalam satu kesatuan karena memiliki keterkaitan makna yang mendalam. Mabbarazanji membuka jalan spiritual melalui doa dan pujian kepada Nabi, Mappanre Temme menyucikan jiwa melalui kalam Ilahi, dan Mappacci menyempurnakannya dengan simbol pembersihan secara lahir dan batin. Rangkaian ini menjadi bentuk perjalanan spiritual menuju pernikahan yang diberkahi dan dihormati secara sosial.
Secara historis, penyatuan ketiga acara ini bermula dari perpaduan antara nilai-nilai Islam dan adat lokal Bugis yang terus berkembang sejak abad ke-17, saat Islam mulai mengakar kuat di Sulawesi Selatan. Tradisi ini merupakan hasil dari proses akulturasi antara syariat Islam dengan adat Bugis yang sangat menjunjung tinggi nilai kehormatan, kesucian, dan spiritualitas. Karena itu, prosesi ini tidak pernah dipisahkan dan bahkan dianggap sebagai prasyarat yang harus dilakukan sebelum akad nikah.
Dalam Mabbarazanji, masyarakat Bugis meyakini bahwa kehadiran syair-syair maulid akan mendatangkan keberkahan dan ketentraman. Doa-doa yang dibacakan menjadi pelindung sekaligus pengantar hidayah bagi calon pengantin. Dalam suasana khidmat dan penuh haru, seluruh keluarga dan kerabat berkumpul, menyatukan hati dalam zikir dan shalawat, memohon kelancaran prosesi pernikahan dan kehidupan baru yang akan dijalani.
Mappanre Temme sendiri menggambarkan kedalaman spiritual seorang perempuan Bugis. Tradisi ini memperlihatkan bahwa pernikahan bukan hanya dimensi sosial, tetapi juga ibadah. Dengan menyelesaikan bacaan Al-Qur’an, calon mempelai tidak hanya menunjukkan kemampuannya membaca kitab suci, tetapi juga kesiapan untuk menghidupkan nilai-nilai Islam dalam rumah tangga.
Sementara itu, Mappacci adalah titik puncak dari seluruh persiapan batin. Kehadiran para tetua dan anggota keluarga yang memberi pacci bukan semata seremoni, tetapi juga bentuk simbolik dari restu, harapan, dan pelimpahan nilai-nilai luhur kepada calon pengantin. Dalam konteks ini, daun pacar bukan hanya penghias, tetapi juga medium spiritual yang diyakini membawa berkah, penolak bala, dan penanda status baru seorang individu.
Ketiga tradisi ini juga menunjukkan kuatnya posisi perempuan dalam budaya Bugis. Calon pengantin perempuan ditempatkan sebagai pusat dari proses spiritual dan sosial, menandakan bahwa peranannya dalam keluarga kelak adalah sentral. Ia tidak hanya dipersiapkan sebagai istri, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai keluarga dan penerus tradisi.
Rangkaian acara ini membuktikan bahwa dalam masyarakat Bugis, pernikahan adalah peristiwa besar yang menyangkut aspek spiritual, sosial, dan kultural. Dengan menyatukan Mabbarazanji, Mappanre Temme, dan Mappacci, masyarakat Bugis menciptakan harmoni antara agama dan adat yang menjadi fondasi kuat kehidupan rumah tangga. Semua prosesi ini menegaskan bahwa pernikahan bukanlah akhir dari masa lajang, tetapi awal dari pengabdian yang penuh tanggung jawab dan keberkahan.
Wallahu A’lam Bissawab