Pendidikan Nasional: Antara Komoditi Dan Mencerdaskan Anak Bangsa
Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Kurikulum Pendidikan Nasional telah berganti beberapa kali. Dimulai dengan diberlakukannya Kurikulum yang dikenal dengan nama Rentjana Pelajaran pada tahun 1947. Kurikulum pertama Pendidikan Nasional Indonesia setelah merdeka ini menekankan kepada pembentukan karakter manusia Indonesia merdeka, kesadaran bernegara, dan bermasyarakat. Namun, baru dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 1950 pada masa Orde Lama. Lalu, pada tahun 1952 Kurikulum pertama ini disempurnakan menjadi Rentjana Pelajaran Terurai yang telah mengarah kepada sistem Pendidikan Nasional. Kurikulum ini mencoba menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Lalu, pada tahun 1964 Rentjana Pelajaran disempurnakan lagi yang dikenal dengan konsep Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani. Kurikulum ini bertujuan membekali pengetahuan akademik di jenjang pendidikan Sekolah Dasar. Setelah datangnya rezim Orde Baru, Kurikulum ini digantikan menjadi Kurikulum 1968 pada tahun yang sama. Pada masa Orde Baru terjadi perubahan struktur kurikulum dari Pancawardhana menjadi fokus kepada pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum mulai terlihat bersifat politis, bertujuan membentuk manusia Pancasila sejati.
Pada tahun 1975, terjadi lagi perubahan kurikulum yang menekankan kepada tujuan instruksional khusus (TIK) agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Dalam Kurikulum 1975 ini, metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Beberapa tahun berikutnya, tepatnya tahun 1984 Kurikulum 1975 diubah lagi menjadi Kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Kurikulum CBSA ini sering disebut penyempurnaan Kurikulum 1975. Kurikulum CBSA mengusung konsep pendekatan Process Skill Approach dengan menempatkan siswa sebagai subjek dalam proses belajar. Oleh karena itu, kurikulum ini disebut sebagai Cara Belajar Siswa yang Aktif. Akan tetapi, pada tahun 1994, dari hasil evaluasi terhadap Kurikulum CBSA, dianggap bahwa Kurikulum ini dinilai terlalu padat muatan pelajarannya. Oleh karena itu, diberlakukanlah sistem caturwulan sebagai cara pembagian waktu pelajaran. Pasca-tumbangnya rezim Orde baru, masa pemerintahan Prof. Dr. B.J. Habibie diberikan suplemen penyempurnaan pada tahun 1999 untuk menambal kekurangan Kurikulum 1994. Kemudian, tahun 2004 pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarno Putri, Kurikulum diubah lagi menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi atau dikenal dengan KBK. Kurikulum KBK ini menekankan ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal, serta berorientasi kepada hasil belajar. Pada masa ini, dimulailah gagasan Sekolah diberikan kebebasan untuk menyusun silabus.
Dua tahun setelah dicanangkannya Kurikulum KBK, tepatnya tahun 2006 setelah Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa menjadi presiden, Kurikulum ini diganti menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau dikenal dengan Kurikulum KTSP. Kurikulum KTSP dianggap sebagai penyempurnaan Kurikulum KBK. Sekolah diberikan otonomi lebih besar dalam mengembangkan kurikulumnya sesuai kondisi dan potensi daerah/sekolah. Pada tahun 2013 dikeluarkan lagi Kurikulum 2013 atau K-13. Kurikulum K-13 difokuskan kepada keseimbangan pengembangan sikap, yaitu spiritual dan sosial, pengetahuan, serta keterampilan. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan saintifik, yang mengarahkan peserta didik untuk mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Setelah Presiden Joko Widodo menjabat sebagai Presiden RI, kurikulum ini sempat direvisi menjadi K-13 Revisi, sebelum diubah pada tahun 2022 menjadi Kurikulum Merdeka. Lengsernya, Presiden Joko Widodo sebagai RI-1 digantikan oleh Prabowo Subianto, Kurikulum Merdeka masih tetap dipertahankan dan mengalami penguatan dan penyesuaian secara administratif. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025. Kemendikdasmen mendorong Kurikulum Merdeka diperkuat melalui penerapan pendekatan Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) dalam proses belajar-mengajar di kelas.
Dari rangkaian perjalanan Panjang perubahan Kurikulum Pendidikan Nasional Indonesia, tampak jelas bahwa Kurikulum Pendidikan Indonesia sangat berkaitan dengan anomali politik penguasa. Dalam hal ini, Kurikulum Nasional sangat berkaitan secara signifikan dengan dinamika serta perilaku politik yang berlaku pada masanya. Kurikulum tidak hanya berfungsi sebagai pedoman pembelajaran, tetapi juga sebagai instrumen ideologis dan politis yang digunakan oleh rezim berkuasa untuk membentuk karakter, pandangan, dan loyalitas warga negara. Dari sini terlihat bahwa Kurikulum adalah salah satu instrumen utama sosialisasi politik di luar keluarga, di mana nilai, ideologi, dan norma yang dikehendaki oleh rezim ditanamkan kepada generasi muda. Setiap kali terjadi pergeseran kekuasaan, kurikulum sering kali direvisi untuk memastikan keselarasan dengan visi politik penguasa baru. Artinya, kurikulum bertindak sebagai cerminan ideologis kekuasaan, di mana isi dan metodenya secara terencana membentuk perilaku politik masyarakat. Baik itu kepatuhan buta, nasionalisme revolusioner, atau keterlibatan kritis demi menjaga kelangsungan sistem politik yang sedang berkuasa.
Kurikulum akhirnya menjadi ranah pertarungan ideologis dan elemen kekuasaan paling ampuh dalam konteks politik negara. Dari perspektif lebih mendalam, kurikulum dapat dilihat sebagai mekanisme reproduksi sosial dan hegemoni rezim penguasa. Tanpa disadari pengaruh politik meresap ke dalam struktur kurikulum itu sendiri. Lewat jendela pemilihan materi, buku ajar, buku guru, penentuan bobot waktu, hingga metode pedagogis yang boleh digunakan. Pada dasarnya, kurikulum berfungsi sebagai filter epistemologis, menyaring pengetahuan mana yang dianggap sah dan penting bagi identitas nasional untuk dibentuk oleh penguasa. Misalnya, pada era pemerintahan Orde baru yang otoriter, kurikulum cenderung bersifat sentralistik dan preskriptif. Lebih menekankan kepatuhan, keseragaman, dan pemarginalisasian narasi alternatif atau pemikiran kritis. Produk luaran yang diinginkan adalah menghasilkan perilaku politik pasif, loyal, dan meminimalisir potensi oposisi serta menjaga stabilitas politik untuk kepentingan status quo. Sebaliknya, pada masa reformasi, kurikulum mulai memperkenalkan pendekatan desentralisasi dan keterlibatan konteks proses pengajaran untuk menentukan struktur kurikulum. Kurikulum tidak lagi mengabaikan perspektif konteks untuk mendorong pemikiran analitis dan keterlibatan sipil yang lebih aktif, sebagai upaya merefleksikan dan melegitimasi nilai-nilai keterbukaan politik. Dengan demikian, terjadinya perubahan kurikulum selalu didasarkan kepada tindakan politik, yang mencerminkan bukan hanya kebutuhan pendidikan, tetapi strategi penguasa untuk menjamin kelangsungan ideologi dan struktur kekuasaan.
Lantas, di mana posisi Guru? Rentang waktu Panjang dan silih bergantinya Kurikulum Pendidikan Nasional tidak pernah mengubah nasib Guru secara signifikan. Padahal, peran mereka sangat vital dalam menjalankan dan mengimplementasikan perubahan kurikulum di lapangan. Dari perspektif ini, Guru akhirnya menjadi perpanjangan tangan operasi ideologi politik yang diinginkan oleh rezim. Nasib guru menjadi paling rapuh terhadap terjadinya perubahan kurikulum. Di tengah pusaran perubahan kurikulum didorong oleh kepentingan politik penguasa, memunculkan dua masalah pokok yang dihadapi guru, yaitu beban adaptasi berlebihan dan potensi terjadinya krisis profesionalisme. Setiap kali kurikulum berganti, guru akan menjadi agen implementasi terdepan yang harus menanggung beban kognitif dan penerapan praktis secara langsung. Dalam waktu relatif singkat, guru dituntut untuk segera memahami filosofi kurikulum, menguasai metode pedagogis, dan merancang ulang seluruh perangkat pembelajaran mereka. Beban ini semakin diperparah ketika pelatihan atau dukungan teknis yang diberikan oleh negara bersifat minimal, tidak memadai, atau terlalu tergesa-gesa. Akibatnya, terjadi miskonsepsi dan pelaksanaan di lapangan yang tidak optimal. Lebih dari itu, frekuensi perubahan kurikulum yang terjadi setiap kali pergeseran kekuasaan, menciptakan fenomena kelelahan birokrasi di kalangan pendidik. Guru terus-menerus merasa berada dalam kondisi belajar ulang dan beradaptasi. Hal ini akhirnya mengikis waktu dan energi guru yang seharusnya dicurahkan untuk peningkatan kualitas interaksi belajar-mengajar di kelas. Pada gilirannya, krisis profesionalisme muncul ketika guru dipaksa menjadi pelaksana pasif dari ideologi politik, di mana otonomi dan kreativitas mereka dibatasi. Hal ini dapat menyebabkan deprofesionalisasi, karena fokus guru bergeser dari pengembangan keahlian mengajar (pedagogi) menjadi kepatuhan administratif dan pemenuhan dokumen. Dengan demikian, nasib guru menggambarkan sebuah paradoks, satu sisi guru adalah kunci keberhasilan kurikulum, tetapi di sisi lain guru menjadi korban pertama dari anomali politik yang menyelimuti perubahan sistem Pendidikan Nasional. Secara periodik hal ini akan terus terjadi sepanjang Pendidikan Nasional dilarutkan ke dalam pergulatan politik praktis. Satu yang pasti, Guru menjadi korban birokrasi dalam Sistem Pendidikan Nasional. Guru dituntut menjadi pilar pelaksana praktis setiap visi politik kurikulum, tetapi harus menanggung beban adaptasi yang berulang dan berujung kepada krisis professionalisme yang tidak pernah mereka keluhkan. (Selamat Hari Guru 25 November 2025: Tetaplah Semangat Mencerdaskan Anak Bangsa).